Cerpen : Ternyata Aku Tidak Mengenalmu

 

https://id.pinterest.com/pin/88453580162234432/

 Jendela/ https://id.pinterest.com/pin/88453580162234432/

Rasa tak nyaman ini telah kurasakan bertahun-tahun yang lalu, sejak aku melihatnya berbalik pergi dan tak menoleh lagi.

Pukul 14: 49

Terdengar helaan napasku sendiri, Ku nikmati udara sejuk dari pendingin ruangan di kafe ini, dan sedikit nyaman dengan alunan melodi sexsophone dari lagu romantis tahun 90-an. Sedikit gugup. Kuraih espreso, satu-satunya minuman yang menemani kesedirianku, selagi kunantikan kehadirannya.

Aku sengaja memilih duduk di salah satu sofa dengan meja melingkar di sudut paling akhir menghadap tembok kaca. Selain aku akan puas menatap wajahnya, aku ingin pertemuan yang lama dinantikan ini akan membawa kesan  medalam bagiku juga baginya. Membayangkan bagaimana dia akan duduk didepan sana. dihadapanku, terpisahkan meja penuh hidangan yang kami pesan. Mendengar setiap kata-kata dari bibirnya yang banyak bicara, pasti akan banyak sekali cerita yang akan ku dengar, cerita yang akan mengundang tawa. Setalah ribuan purnama tidak berjumpa akan banyak perubahan dan segala macam peristiwa yang telah kami lewati tanpa bersama. Tapi apapun yang akan dia ceritakan nanti, tentu aku tidak sabar untuk melihat wajahnya.

Entah untuk keberapa kali aku merasakan degub jantungku sendiri, hingga merasakan denyutan di dada dan desiran tak nyaman merundungi kelabunya hati yang selama ini menolak untuk mengakui kalau aku memang merindukannya. Rasa tak nyaman ini telah kurasakan bertahun-tahun yang lalu, sejak aku melihatnya berbalik pergi dan tak menoleh lagi, sering juga kurasakan jika pikiranku tak sengaja mengeja namanya dalam bibir terkatup rapat, dan selalu hadir dalam hal apapun yang kulakukan jika itu menyangkut dirinya,  hampir semua yang kulakukan menyangkut tentangnya. Setiap kali itu terjadi, denyutan tak nyaman selalu kurasakan bersamaan dengan wajah pucat pasi yang selalu menghatuiku setiap kaliku bernapas.

Kali ini aku mencoba tenang, pertemuan ini memang sangat kunantikan sekaligus sangat menakutkan. Tapi bagaimana lagi aku benar-benar sangat merindukannya, benar-benar ingin melihat wajahnya, melihat apapun tentangnya, biarpun jika dia marah dan memakiku. atau jika , sekalipun aku harus di rundung rasa bersalah dan malu. Biarlah asalkan aku dapat melihat wajahnya, dengan begitu aku akan tenang dan tahu bahwa dia baik-baik saja.

Pukul 14:51

Sedikit lagi menuju pukul tiga, mataku berpendar ke sagalah arah.  Aula kafe cukup besar, dengan lampu-lampu menjuntai, beberapa lukisan retro genik menghiasi dinding, ada lebih dari sepuluh meja dengan sofa yang melingkar  hampir penuh oleh tamu, ku dengar orang-orang bercakap dengan suara rendah. Mataku menangkap 4 gadis  muda sedang asik mengobrol melingkari meja. Salah satu gadis berambut panjang yang memiliki wajah sedikit mirip seseorang yang paling kukenal menunjukkan sesutu di hanphonenya hingga yang lainnya berkerumun, kemudian semuanya tertawa. Tak lama semua kompak untuk mengecilkan volume suara, mungkin sadar dengan keberadaan mereka.

Entah apa yang mereka bicarakan. Melihatnya aku tidak tahan untuk tidak tersenyum, tapi melihat di sekelilingku yang ramai tidak mungkinkan bagiku untuk tersenyum sendirian. Jadilah aku menunduk, sambil melihat ke layar pipih yang redup sedari tadi di genggamanku. Saat kusentuh menunjukkan waktu yang terterah.

Pukul 14:55

Kuletakkan benda pipih itu ke atas meja, belum ada kabar, pesan yang kukirimkan juga tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa pesan itu telah di baca. Mungkin di perjalanan. Kali ini aku menatap lagi gadis berambut panjang yang sedang mendengar teman di sebalahnya. Aku termangu sesaat, setelah kuteliti gadis muda itu sama sekali tidak mirip dengan seseorang yang kunantikan, hanya saja rambut panjang yang dimiliki gadis itu memang mengingatkanku pada Rhea. 

Aku masih merekam jelas bagaimana wajah Rhea dalam ingatan yang kusimpan teguh dalam relung hatiku, dan membawa serta nama dan setiap jengkal sosoknya kemanapun aku pergi. Shandrhea namanya, kelihatan seperti gadis lainnya. Wajahnya oval, bermata sayu dengan tatapan teduh yang selalu kusuka, hidungnya mancung ,pipinya tirus dan bibirnya berwarna merah muda. Rhea memiliki tubuh yang kecil dan ramping, hampir semuanya rata. Untuk itulah Rhea selalu  terlihat lebih muda dari usianya.

Aku mengenal Rhea sejak pertama kali masuk taman kanak-kanak. Tidak kutemuka hal menarik dari dirinya kecuali bahwa Rhea satu-satunya anak perempuan berambut panjang kala itu, rambutnya tergerai kadang dikepang sering kali jadi permainan bocah-bocah nakal. Rhea menangis, mengadu pada orang tuanya. Keesokkan paginya Rhea sudah berambut sebahu. Aku mendekatinya kala itu, karena didesak orang tuaku untuk meminta maaf. Rhea diam saja, masih marah. Saat aku memberikan pita biru yang baru, karena miliknya sudah kubuang. Dia kesenangan. Tapi sejak saat itu, Rhea tidak pernah lagi  berambut panjang.

Kupikir dulu, mengapa aku menyukai Rhea mungkin karena dia anak yang baik dan mudah di andalkan dalam hal apapun, karena ketika kita kecil hampir tidak bisa membedakan dengan siapa kita bermain selagi apa pun yang kita lakukan terasa begitu menyenangkan. Setiap waktu dihabiskan untuk tertawa pada hal-hal yang lucu, menangis disebabkan adanya luka di lutut Rhea, berkelahi jika hanya memperebutkan mainan yang tidak seberapa, bertengkar dengan melipat tangan di dada dengan mata melotot polos tanpa adanya kesalahan yang pasti.  Dan orang tua kami biasanya akan membujuk aku dan Rhea berteman kembali.

Pernah aku benar-benar jengkel padanya, karena Reha selalu mengikutiku kemanapun aku pergi, kemanapun aku bermain dan tidak melapaskanku sedikit pun.

Saat itu aku bergabung dengan anak laki-laki lainnya bermain petak umpet di sekolah, saat jam istirahat ke dua. Aku membiarkan saja Rhea mengikutiku kemanapun aku bersembunyi. Tapi persembunyian kami ketahuan karena keberadaan Rhea yang tidak menjaga dirinya sendiri.

Aku marah, aku berlari meninggalkannya untuk bersembunyi lagi ke tempat yang aman untuk diriku sendiri. Tapi kurasa Rhea tidak terlalu peka dengan keadaanku saat itu, jadi dia ikut berlari mengejarku.

Bugh !

Hingga ku dengar dia terjatuh. Aku menoleh, teman-temanku berteriak untuk meninggalkannya. Tapi aku tidak bisa, aku sangat mengkhawatirkannya saat itu.

Jadi aku berbalik ke arah dimana Rhea sudah terduduk mengaduh pada lututnya yang terluka, ku lihat dia menangis. Kalau cengeng kenapa ikut-ikutan main,  aku menahan napas tak abis pikir.

Keberadaanku ketahuan oleh penjaga, harusnya aku kalah. Tapi aku sudah tidak peduli lagi. Aku membantu Rhea berdiri membawanya ke kelas, terdengar bisik-bisik dari orang-orang yang membicarakan kami---sebatas rumor dari pemikiran anak sekolah dasar, tapi waktu sudah cukup membuatku meradang. Bahkan beberapa teman yang bermain petak umpet mengataiku payah, karena aku mendadak tidak mau bermain lagi karena aku kalah.

Jadi aku membiarkan saja apapun yang dikatakan mereka. Aku memperhatikan kakak kelas yang bertugas  sebagai dokter cilik mengobati luka Rhea dengan menahan jengkel kenapa Rhea masih tetap saja menangis padahal itu kesalahannya sendiri. Walau pun aku menemaninya, tapi aku tetap tidak mau bicara dengannya. Dan parahnya tangisan semakin menjadi, membutaku jadi malu.

Mataku melotot. Rasanya ini pertama kalinya aku menunjukkan marah padanya secara langsung.  Tangisnya mereda, dia menatapku dengan bola matanya berkeredap polos penuh air mata. Dengan wajah memerah di tekuk marah. Dia tidak ada takut-takutnya.

 “ Aku nggak cengeng! aku nangis bukan karena jatuh ! “ sahutnya tak mau kalah, tangisnya berhenti.

Alisku terangkat karenaa bingung. Cengeng ! ya cengeng saja.

“ Aku nangis karena kamu ninggalin aku “ katanya merengek nangis.

Aku terdiam, diamku bingung dan menganggap jika Rhea terlalu berlebihan. Ku pikir, harusnya akulah yang pantas marah karena dia terus mengikutiku, membuatku tidak tenang dan membuatku tidak bebas. Jadi aku mendiamkannya hari itu, dia pun begitu. Tidak ada pembicaraan apapun lagi setelahnya, hingga semua berakhir normal. Kami berteman kembali dengan sendirinya. Tidak ada yang memulainya duluan, hanya saja waktu itu mudah sekali bagi kami untuk melupakan masalah tanpa saling memaafkan.

Kupikir hari itu akan sama sengan hari-hari lainnya, tidak akan meninggalkan kesan yang begitu dalam. Bagiku juga bagi Rhea. Ternyata hari itu adalah ingatan yang paling tebal dari begitu banyak ingatan samar tentang masa kecil kami.

Sayangnya walau aku selalu mengingat, aku selalu terlambat untuk menyadari. Di kemudian hari, aku tahu semua masalah tidak bisa di selesaikan seperti ketika kami kecil dulu.

Ting

Suara bel berbunyi yang menandakan pintu kafe itu dibuka oleh pendatang baru atau ditutup oleh tamu yang pergi dari kafe ini. cepat aku menoleh, mataku melintasi banyak hal  hingga sampai pada wanita berambut pirang yang baru datang. Wanita itu tampak kikuk, matanya berpendar mencari tempat mana yang bisa di singgahi . Aku menelan ludah meluruhkan pundak, Aku sama sekali tidak mengenali wanita berparas bule itu.

Kuraih ponselku, untuk melihat jam dan pesan masuk atau mungkin pesanku telah dibaca. Aku mendesah kecewa tidak ada perubahan disana selain waktu yang terus saja berlalu.

Pukul 15 :00

Lagi, aku kembali mengirim pesan padanya. bukan hanya mengirim pesan  kali ini aku mencoba menghubunginya melalui panggilan suara.  Aku menghembuskan napas mencoba bersabar. dalam benakku sebagai anak muda yang menjalani kehidupan yang sibuk di ibukota metropolitan tentu mengetahui apa yang membuat seseorang terlihat tidak profesional, terlmbat datang dan tidak tepat waktu. Mungkin saja terjebak macet, mungkin saja singgah dul ke sutau tempat, mungkin saja begitu, begitu.

Aku kembali menyesap espreso yang sudah dingin itu, dan rasa pahitnya benar-benar mengigit lidah. Dan mulai tak nyaman karena rasa pahit itu kini justru terasa asam di tenggorokan. Aku berencana memanggil pelayan untuk memesan air mineral, tapi cepat ku urungkan saat aku tahu bahwa jam di ponselku menunjunjukkan waktu yang seharusunya dia tiba. Air mineral itu akan aku dapatkan bersamaan banyak menu yang akan kami pesan setelah dia datang. Mungkin sebentar lagi pikirku.

Ku sandarkan tubuhku sepenhnya pada sofa, mencoba mencari kenyamanan disana. tapi rasa asam ditenggorokanku benar-benar tidak nyaman. berulang kali akau menelan ludah. dalam diam, ingatakanku kembali pada masa silam.

 “ Tuh, duh senyumnya “ kata Rhea berjinjit-jinjit menunjukkan rasa kagum. Pipinya merah kalau bertemu dengan lelaki yang disukainya, aku sering memperhatikan tingkah lakunya ini. dan setiap kali dia ketahuan bertingkah seperti itu dihadapanku. Dia malu, bibirnya manyun. Aku tersenyum.

Rhea remaja menjadi gadis yang banyak bicara.

“ Nggak ah, kalau aku lebih pilih jendral sudirman, beliau adalah pahlawan yang bisa menjadi contoh anak-anak muda masa kini, bayangin beliau itu masih muda tapi sudah berani memimpin pasukan bahkan ketika sang jendral sudah sakit-sakit masih memilih perang dengan strategi gerilya. Hebatka ” kata Rhea. Apa saja akan selalu dikatakannya, topik apapun akan jadi menarik dengan pembahasan intrik, kadang dia memaksaku untuk menanggapi celotehannya, aku akan menurutinya kalau pembahasannya nyambung.

“ Ehh aku pernah dengar katanya jendral sudirman punya penyakit yang bikin beliau nggak boleh ngerokok...jadi dia nyuruh pacarnya buat ngerokok depan dia...terus dia nikmatin asapnya...kira-kira gimana ya rasanya ?    Salah-satu celotehan nyeleneh Rhea  yang masih  kuat di ingatanku  hingga saat in. Yang setia kali aku mengingatnya, kadang aku menyegir saking gelinya.Tapi anehnya hampir setiap saat telingaku penuh dengan suaranya. Dan aku justru membiarkannya.

Seiring berjalannya waktu, di masa putih abu-abu aku dan Rhea tetap bersama. Walau dipisahkan kelas dan minat pelajaran yang berbeda aku dan Rhea tidak terpisahkan. Setiap hari, Rhea dengan rambut yang masih basah, berdiri di depan rumahnya sambil menenteng helm berwarna merah. Aku bersama motor bebekku selalu  menghampiri dan membawanya menuju sekolah. Karena kedekatan kami inilah banyak yang mengira aku dan Rhea adalah sepasang kekasih. Tidak sedikit teman-teman menggoda kami atau beberapa anak cowok  bertanya mengenai Rhea. Saat itu ku tegaskan, bahwa aku dan Rhea hanya sebatas teman.

Suatu malam Rhea mendatangi ku. Seperti biasa kami memang sering saling membantu satu sama lain dalam mengerjakan tugas sekolah. Tapi malam itu, kulihat Rhea berbeda. Selain membawa buku-buku dan peralatan alat tulisna, ia membawa sesuatu yang lain. Entah apa, aku tidak tahu. Yang ku lihat, Saat berbicara, matanya banyak beredip, pipinya kadang bersemu merah.

“ Kata Shella kita pacaran...menurut kamu gimana  ? “ kata Rhea dengan wajah malu-malu, pipinya merona merah sembari tersenyum. Namun    lengkungan sabit di bibirnya meredup. Dan suasana menjadi canggung, kami pun terdiam.  Rupanya gosip itu menyebar, melayang kesetiap ruangan, terbang ke penjuru sekolah hinggap di pendengaran Rhea. 

Tapi kelenggangan tidak berlangsung lama, ku lihat wajahnya kembali berbinar. senyumnya kembali cerah dengan tatapan matanya kembali ceria. Setelah  malam itu, aku merasa tidak ada yang berubah. seperti biasa aku dan Rhea sering kali menghabiskan waktu bersama.

Di penghujng masa SMA, aku dan Rhea disibukkan dengan segudang aktivitas persiapan menjelang ujian, kami memiliki kegiatan masing-masing. Rhea yang sering kali memintaku untuk mengerjakan tugas sekolahnya mengaku kesulitan mengadapi ujian, jadilah dia mengikuti les belajar tambahan di luar aktivitas sekolah. dalam masa berjaraknya pertemanan kami, aku mengenal Tya teman kelas Rhea. Tya, gadis manis , berambut panjang itu tersenyum sambil berjalan di sampingku, dan baru kusadari kami berdua berjalan paling terakhir meninggalkan ruangan setelah rapat osis selesai. Tya duluan menyapaku. Gadis itu mengaku mengenal Rhea, dan obrolanpun nyambung kemana-mana. Tidak berselang lama, Hingga aku menjalin hubungan dengannya.

“ Cieeeee...akhirnya pacaran juga...cieee” kata Rhea menggodaku. Aku datang menemui Rhea di rumahnya. Kala itu Rhea baru pulang dari les, gadis itu masih memeluk beberapa buku tebal di dadanya. Saat aku memberitahukan padanya aku berpacaran dengan Tya. Rhea sempat terkejut, diam sesaat tapi kemudian gadis itu tertawa dan tersenyum senang. Kali ini tidak banya kata dari bibirnya selain kata “ cieeeee “.

“ Tya anak baik...cewek satu-satunya punya rambut panjang di kelas  ” kata Rhea padaku. Ketika aku mengajak Rhea mengobrol dan meminta pendapat mengenai hubunganku dengan Tya.

Hingga selesai ujian nasional, aku dan Rhea hampir tidak bertemu. Pun dengan Tya, pacar pertamaku itu sering kali merajuk, mengeluarkan amarahnya walau hanya melalui pesan atau telepon. Aku memberitahukan padanya, kalau aku sibuk persiapan ikut ujian kedinasan. Seolah tidak mengerti, Tya akhirnya menyerah dan memilih untuk mengakhiri hubungan kami.

Rhea turut prihatin menatapku,  sama seperti dulu ketika setiap kali aku membicarakan hubunganku dengan Tya. Rhea tidak banyak bicara, tapi Rhea tetap menghiburku. Mengajakku menonton biskop dan nongkrong di kafe untuk  sekedar membunuh waktu.

“ Aku jadian sama Rury...” kata Rhea menatapku lekat . Setelah berhasil membuatku tertawa karena akhirnya aku dapat melupakan Tya. Tapi tawaku tidak berlangsung lama,  bahagiaku redup seiring kata-kata yang meluncur dari bibir Rhea. Rupanya Rhea dan Rury saling mengenal saat mengikuti Les persiapan masuk perguruan tinggi, yang ternyata keduanya menargetkan kampus negeri yang sama. Tapi, aku diam saja. Aku menatap datar rona merah di pipi Rhea saat Rury datang menjemputnya malam itu.

Masa SMA telah berakhir, aku dan Rhea menempuh pendidikan di kota yang berbeda, sedikit perlahan kami mulai terpisahkahkan. Aku lulus test kedinasan harus tinggal di asrama dan menempuh perjalanan setengahh hari hingga sampai ke tempat di mana aku menimba ilmu. Rhea pun sama, kuliah di kampus negeri ternama di ibu kota, yang mengharuskan gadis manja seperti Rhea hidup mandiri. Tapi hampir setiap hari aku dan Rhea saling berbagi kabar memalui kecanggihan teknologi, mendengar cerita Rhea yang antusias membicarakan betapa serunya kuliah di ptn umum sering kali membuatku merasa  iri.

“ Kesini aja banyak cewek-cewek cantik...nanti aku kenalin...” Kata Rhea menutup sambungan telepon.

Satu tahun perkuliahan telah terlewati, liburan telah tiba dan aku merindukan Rhea. Pun gadis itu juga mengutarakan hal yang sama. Dia juga mendesakku untuk menjemputnya. Sedikit tergoda dengan imajinasi yang Rhea berikan setiap kali dia menelponku. Dengan  nekat, aku mengendarai mobil Papa menempuh berkilo-kilo jalan tol menuju ibu kota di mana Rhea berada.

Rhea sangat senang aku datang, aku meneliti penampilan gadis itu yang sudah berubah. menjadi gadis  yang modern dengan gaya anak muda ibu kota. Ternyata satu tahun tidak bertemu, Rhea memanjangkan rambutnya. Cantik aku suka sekali.

Tentu perbedaan ini sangat berbeda dengan Rhea yang kukenal selama ini. tidak lagi kutemukan Rhea yang banyak bicara atau Rhea yang tertawa terbahak-bahak sambil memukul apapun di sekitarnya. Rhea dihadapanku selalu tampil manis dan anggun, sesekali dia menyisir rambutnya dengan gerakan tangan yang gemulai.

Selayaknya saling pandang dan menilai pada diri kami masing-masing , Rhea juga mengamati perubahanku. Dia megomentari penampilan baruku sebagai praja kedinasan. Katanya sangat mirip dengan serdadu nakal.

“ Aku akuin kamu ganteng, tapi seragam kamu bikin aku terintimidasi, semoga saja nggak kamu manfaatin buat goda cewek-cewek penggila cowok rambut cepak “  Kata Rhea saat itu dengan wajah tegas sok kritisnya. Namun di mataku justru sangat menggoda, suatu ucapan yang tidak sepantasnya keluar dari bibir seorang gadis yang selama ini kukenal. Mendengarnya aku tertawa.

Dalam pertemuan itu kami membicarakan banyak hal, tentang perkuliahanku, tentang perkulihan Rhea dan termasuk tentang  berakhirnya hubungan Rhea dan Rury. Entah kenapa aku senang mendengarnya.

 “ Tapi aku sekarang lagi dekat sama Dion kating di teknik sipil “ Kata Rhea. Pipinya bersemu merah. Aku hanya menelan ludah mendengarnya, menghembuskan nafas pelan.

Rhea mengajakku berkeliling kampusnya dan mengenalkanku pada banyak teman perempuan. Saat Rhea menanyakan apa aku tertarik dengan salah satunya. Aku hanya diam saja menatap wajahnya. datang ke tempat Rhea kuliah ternyata tidak semenarik yang ku bayangkan setiap kali bibir Rhea bercerita.

“ Itu karena kamu masih mikirin Tya “ Kata Rhea. Mendengarnya, aku tertawa geleng-geleng kepala.

Waktu berlalu begitu saja dan sangat cepat. Di saat Rhea sedang menikmati suka duka dalam drama perkuliahannya dengan menjalani peran sebagai anak muda ibu kota, aku justru lebih dulu merasakan ketegangan dalam mengikuti persaingan yang ketat sebagai praja yang menunggu rotasi kedinasan perbendaharaan negara. Tentu tidak ada waktu bagiku untuk bersenang-senang seperti kisah-kisah yang di ceritakan Rhea setiap kali kami saling menghubungi  membicarakan banyak hal.

Seperti sudah menjadi kebiasaan  suara dan cerita milik Rhea adalah hiburan bagiku. Aku selalu tersenyum setiap kali Rhea tertawa saat menceritakan hal yang dianggap gadis itu luc.  kadang aku hanya tergeli-geli saja kalau Rhea menggurutu menyumpahi setiap lelaki yang bermata genit yang dianggapnya menyebalkan.

“ Ihh akutu paling ilfil sama cowok bentukannya kaya gitu, diakan udah tau kalau aku udah punya pacar ! masa dia masih ngebet banget buat deketin aku. Emang ya mentang-mentang sekolah kedinasan sepede itu buat ngedeketin cewek. dia pikir aku bakal tergoda kali ya, Dion lebih ganteng kemana-mana “ kata Rhea dengan wajah juteknya. Mendengarnya aku tertawa-tawa saja. entah benar tidaknya atau Rhea mengarang cerita yang dilebih-lebihkan. Seolah Rhea adalah satu-satunya gadis yang hidup di dunia ini, hingga membuat banyak lawan jenis memperebutkannya.

Rhea kesal dan tidak nyaman karena menerima godaan anak kepala desa tempat di mana Rhea melangsungkan kegiatan Kuliah Kerja Nyata. Sebenarnya mendengar Rhea berbicara kadang membuatku  geleng-geleng kepala sulit untuk percaya. Sebagai teman untuk sekedar menyela, aku tidak berani takut Rhea tersinggung atau sakit hati. Tapi apa pun itu, benar atau tidaknya.  Bagiku Rhea sudah menjadi bagian yang paling menarik dari hari-hariku yang monoton dan dan membosankan.

Tiga tahun berkuliah mengenakan seragam dengan jadwal monoton dan membosankan, aku akhirnya mengikuti serangkaian proses diklat prajabatan dan resmi mendapat tugas dinas sebagai pegawai baru di kantor perbendaharaan tingkat daerah milik pemerintahan di pusat ibu kota tempat dimana Rhea berkuliah. Kala itu aku sengaja tidak memberitahu Rhea, aku ingin dia terkejut dengan kedatangaku yang diam-diam datang ke kostnya.

Tidak seperti dugaanku atau harapanku selama di perjalanan. Saat aku datang, aku terkejut mendapai wajah pucat dan putus asa Rhea yang sepertinya habis menangis dalam waktu yang sudah sangat lama. Tidak kutemukan wajah ceria yang manis seperti biasa melainkan wajah kuyu penuh sisa air mata. Aku membalas pelukannya, dengan dada bergetar. aku merasakan kesedihan yang menyelimuti sahabatku itu. Di pundakku Rhea menumpakan segalanya dengan isak tangis.

   Jahat banget mereka, nusuk aku dari belakang “ kata Rhea sambil menangis. Ternyata selama Rhea melangsungkan KKN  Dion diam-diam berpacaran dengan teman kost sekaligus sahabat Rhea. Sulit bagi Rhea menerima bahwa seseorang yang sudah dianggapnya saudara melebihi sahabat itu ternyata selama ini bermain api di belakangnya. Hal itulah yang membuat Rhea sakit hati karena merasa dikhianati pacarnya sekaligus sahabatnya sendiri. Selama bertahun-tahun aku mengenal Rhea untuk pertama kalinya aku melihat sisi rapuh dan lemah dari kepribadian gadis itu.

 Tapi Rhea tetaplah Rhea, tidak butuh waktu lama aku kembali melihat binar cerah dimanik hitam milik gadis itu dan wajahnya kembali ceria seperti biasa. Rhea senang dengan kepindahanku ke ibu kota tempatnya berkuliah. Yang ku pikir masa yang indah untuk kami berdua, karena akhirnya aku dan Rhea memiliki banyak watu untuk bertemu.

Walaupun itu hanya berlangsung sementara karena akhirnya aku sebagai pegawai baru mengalami jadwal kerja yang sangat ketat dan Rhea mulai merasakan rumitnya dunia kerja, waktu itu Rhea sedang menjalani program magang di salah satu pusat bank swasta. Anehnya, disaat kami sudah mulai disatukan sebuah tempat tanpa adanya jarak, justru kami dipisahkan oleh kesibukkan masing-masing. Hampir tidak ada pertemuan di akhir pekan apalagi komunikasi. Aku benar-benar sibuk waktu itu. Begitupun Rhea yang sepertinya sangat giat untuk cepat-cepat lulus dari bangku kuliah.

“ Aku nggak bisa, aku sibuk ! “ itulah jawaban Rhea ketika kuminta menemaniku menghadiri resepsi pernikahan anak atasanku di kantor. Kala itu, sebagai pria muda yang lajang dan  pendatang baru di kota itu, aku merasa sangat kikuk  untuk menghadiri sebuah acara jika sendirian. Dikesendirianku menghadiri pesta pernikahan itu, aku berkenalan dengan seorang gadis berambut panjang tergerai, di saat gadis lain memilih menyanggul rambutnya karena mengenakan kebaya gadis itu membiarkan rambutnya terurai indah. Gadis itu bernama Vita, perkenalan yang berawal canggung seketika mengalir begitu saja saat gadis itu mengaku mengenal Rhea. Ternyata mereka satu kampus bahkan satu jurusan. tidak lama dari perkenalan itu, Vita sering mengajakku nongkrong dikafe, mengenalkanku kebanyak teman-temannya dikampus bahkan aku ikut mengantarnya ketika Vita  pulang kampung. Aku menilai Vita adalah gadis yang hangat dan ceria. Entah kenapa aku menemukan sosok Rhea pada diri gadis itu. Setelah enam bulan aku mengenalnya, akhirnya kami resmi berpacaran.

Sebenarnya aku sudah memberitahu tentang Vita kepada Rhea, tapi sepertinya Rhea tidak terlalu peduli karena kami hampir tidak pernah bertemu lagi. Terakhir kali kabar yang kudengar bahwa Rhea sedang proses menggarap skripsi. Jadilah kami menjalani aktivitas masing-masing. aku sibuk dan begitupun Rhea.

Mana aku tahu bahwa dalam suatu peristiwa akan mengubah persahabatan kami yang sudah terjalin belasan tahun.

Di suatu malam yang pastinya tidak pernah aku bayangkan terjadi begitu saja tanpa mampu aku cegah dan hindari. Malam itu sebenarnya cerah, langit terang karena kelap-kelip bintang yang bertebaran,  walaupun tidak kutemukan keberadaan persis letak bulan. Setidaknya malam itu akan indah pikirku. Aku bersama Vita hendak pergi  menonton bioskop. Namun, karena sesuatu yang tertinggal aku mengajak Vita untuk mampir ke kostku sebentar saja.

Tapi siapa mengira, Rhea berdiri di depan pintu kostku. Aku terkejut sekaligus senang dengan kemunculan Rhea yang tiba-tiba, karena aku memang sudah sangat merindukannya. Karena akhirnya aku bisa melihat wajahnya lagi setelah sekian lama. Karena aku ingin Rhea mengenal Vita.

Tentu tanganku terbentang untuk menyambutnya. Tapi langkahnya terhenti, bersamaan wajahnya yang berubah pias, lengkungan sabit di bibirnya menciut tinggal segaris, tatapannya meredup tipis. Aku pun langsung tediam tidak mengerti, sampai akhirnya aku paham dan terhenyak di tempat.

Rhea menatapku dan Vita bergantian lama sekali sampai wajahnya memucat. Tidak ada kata-kata yang keluar. Tapi aku tahu banyak kalimat yang tersimpan dari cela bibir dan matanya yang sendu penuh luka dan kekecewaan.

Kemudian Rhea berbalik pergi , mataku mengiringi setiap langkahnya yang menjauh dengan perasaan  hampa  karena tak mampu mengejarnya, karena aku sendiri merasa bersalah, lidahku kelu untuk menjelaskan agar aku terlihat pantas di matanya, karena aku juga megharagai perasaan Vita di sampingku kala itu.

Aku terdiam setelah kepergiannya, begitu pun Vita. Itulah pertemuan terakhirku dengan Rhea, hingga tidak pernah kutemukan cela untuk kami saling menyapa.

Lama dari itu, di saat aku merindukan kebersamaan kami dan mengenang wajah Rhea di pertemuan kami terakhir kalinya. Aku sadar raut wajahnya malam itu persis sekali dengan anak kecil menangis  karena lututnya terluka belasan tahun yang lalu. 

Ingatan rasa bersalah itu terus membawaku hingga kini, seperti arus waktu yang terus  berlalu, membiarkan asa menggunung menjadi sebuah harapan, memendam lautan rindu, menyimpan bentangan cinta, memeluk gelombang kasih sayang. Semua angan tersimpan rapat jauh di lubuk hati yang paling dalam. Malu untukku ungkap, enggan untukku singkap. Dan  setiap pandanganku mengarah, sejumlah kenangan hidup menyala dan masa lalu yang terlewati  mengikuti setiap langkah , melekat pada setiap jejak kaki.

Aku yang merasa merindu dan mencinta dengan segenap kasih sayang yang tulus dan murni. Sebuah rasa yang teramat mulia bagiku  dapat memuja seseorang dengan begitu dalam. Kemanapun aku pergi dan melangkah, tidak ada yang bisa menggantikan sosoknya, pikiranku akan kembali pada wajah seseorang dengan tatapan berani yang selalu mengalirkan keceriaan yang selalu ingin ku lihat dan  ku nantikan.

Dan di sinilah aku duduk sendirian dalam sebuah penantian yang penuh harapan. Menunggu kedatangan sosoknya. Ada banyak sekali yang ingi ku sampaikan, ucapan terima kasih,permintaan maaf, perasaan rindu dan pengakuan cinta yang telah ku pendam sejak lama.

Pukul 15:30

Mataku menatap kosong,  pinggiran lengkungan meja, entah kenapa tiba-tiba aku menjadi  pesismis yang begitu nyata, bahwa semua ini sangat sia-sia. Karena Rhea tidak aka datang. Aku telah menunggu hampir satu jam dan sendirian. 

Aku menelan ludah, ini kali pertam aku mengajaknya bertemu setelah kami begitu lama tidak berjumpa. Harusnya aku tidak harus menanggapinya terlalu berlebihan jika pertemuan ini gagal, aku bisa mencobanya lagi besok, lain lusa, lain minggu, lain tahun. Dan lain-lain seterusnya. Karena aku tidak akan menyerah.

Aku bangkit, tapi tercekat saat mataku menemukan seorang gadis yang begitu kukenali. Wajahnya, bahasa tubuhnya dan tatapan matanya, masih sama dengan sosoknya yang begitu ku kenal bertahun-tahun yang lalu. Kecuali penampilannya yang terlihat berwibawa, dalam balutan kemeja biru yang di lapisi blazer tak di kancingkan, dengan rok sepan sebatas lutut. Ku dengar Rhea memang bekerja sebagai bangkir. Yang paling ku suka dia memanjangkan rambutnya.

Aku menahan napas, mata Rhea terlihat menelusuri ruangan mencari keberadaanku. Dan mata itu berhenti tepat mengenai mataku. Rhea tersenyum, senyum manis yang sudah di milikinya sejak dulu, tidak ada yang berubah. Aku menghela napas kasar, menyambut langkahnya menuju ke arahku.

“ Rein...” dia mengulurkan tangan menjabat tanganku, ku tahan tubuhku untuk tidak memeluknya.

Aku belum berbicara, masih terpaku mengagumi sosoknya yang kian memesona.  Dalam keceriannya yang tidak pernah memudar, aku justru terhipnotis akan ajakannya untuk duduk kembali di sofa. Harusnya akulah yang melakukan itu.

“ Maaf telat...ke tempat cetak undangan dulu---omong-omong kamu apa kabar, ya ampun kamu makin ganteng “  mata Rhea berbinar. Aku mendengus, gadis ini tidak pernah berubah.

  Baik, Kamu juga makin cantik “ pujiku tulus.

“ Ha..ha..ha makasih, aku selalu cantik dari dulu, kamunya aja yang telat sadar 

Aku hanya tersenyum.

“ By the way kabar Vita gimana ? aku mau minta maaf...nggak seharusnya aku sebenci itu sama dia,  hanya karena dia udah ngerebut Dion dari aku...terus ngerebut sahabat yang aku cintai lagi...nanti kalau aku mati, arwahku gentayangan karena dendam...ih serem “ cerocosnya yang terlihat manis menggemaskan.

“ Aku putus dengan Vita sejak malam itu “ dan aku tidak ingin membahas soal itu lagi saat ini.

Hening sesaat. Ku lihat Rhea memalingkan wajah, ku tahu pula ia menghembuskan napas kasar.  Memutus kecanggungan yang merajai kami, aku mengambil dua buku menu di atas meja.

“ Kita pesan dulu ya...” aku membagikan buku menu itu padanya, Rhea menolaknya. Penolakkan yang membuatku bingung, detik itu juga aku merasakan penolakkan yang lainnya.

Wajah Rhea terlihat resah. Hendak mengatakan sesuatu namun penuh keraguan. Aku menunggunya.

“ Rein... kamu ingat anak kepala desa yang ngebet banget deketin aku waktu KKN dulu “

Aku diam, Sebuah kisah anak kepala desa yang sedang menempuh sekolah kedinasan sepertiku yang jatuh cinta kepada Rhea. cerita yang ku kira hanya karangan Rhea yang terlalu narsis, yang ku kira Rhea hanya untuk membuat ku cemburu. Ternyata cerita itu benar-benar ada, aku saja yang tidak mempercayainya.

“ Kami sudah menikah...resepsinya minggu depan “ dia mengeluarkan sesuatu dari tasnya.  Dengan bantuan tangan kiri.  Aku tercekat, badanku terasa dingin melihat sebuah cincin berlian dengan batu kecubung hijau kecil di tengahnya melingkar di jari manis Rhea. Sungguh aku baru melihatnya.

Ternyata belasan tahun kami berteman, aku sama sekali tidak mengenalnya. Tidak sama sekali.


Komentar

Posting Komentar

Silahkan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan topik pembahasan

Postingan Populer